TEORI
BELAJAR KOGNITIVISME
1. Pengertian Kognitivisme
Teori belajar kognitif lebih
menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran
manusia. Pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan
aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses
interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam
bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang
bersifat relatif dan berbekas.
Dalam belajar, kognitivisme mengakui
pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau
lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan
lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya. Kognisi
adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan “pusat” penggerak berbagai
kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat berbagai masalah, menganalisis
berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik simpulan dan sebagainya.
Di samping itu, teori ini pun
mengenal konsep bahwa belajar ialah hasil interaksi yang terus-menerus antara
individu dan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Teori kognitivisme mengungkapkan bahwa belajar yang dilakukan individu adalah
hasil interaksi mentalnya dengan lingkungan sekitar sehingga menghasilkan
perubahan pengetahuan atau tingkah laku. Dalam pembelajaran pada teori ini dianjurkan
untuk menggunakan media yang konkret karena anak-anak belum dapat berfikir
secara abstrak.
Dalam teori ini ada dua bidang
kajian yang lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar, yaitu:
- Belajar tidak sekedar melibatkan stimulus dan respon tetapi juga melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks (Budiningsih, 2005:34)[1][1]
- Ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Menurut psikologi kognitivistik, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk mengerti sesuatu dengan jalan mengaitkan pengetahuan baru kedalam struktur berfikir yang sudah ada. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh siswa. Keaktifan itu dapat berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan, mempraktekkan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sehingga, pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sangat menentukkan keberhasilan mempelajari informasi pengetahuan yang baru.[2][2]
Teori ini juga menganggap bahwa belajar
adalah pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan persepsi untuk memperoleh
pemahaman. Dalam model ini, tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi dan
pemahamannya. Sedangkan situasi yang berhubungan dengan tujuan dan perubahan
tingkah laku sangat ditentukan oleh proses berfikir internal yang terjadi
selama proses belajar. Pada prinsipnya, belajar adalah perubahan persepsi dan
pemahaman yang tidak selalu dapat dilihat sebagai tingkah laku (tidak selalu
dapat diamati)[3][3]. Dalam
teori ini menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian dari situasi yang terjadi
dalam proses belajar saling berhubungan secara keseluruhan. Sehingga jika
keseluruhan situasi tersebut dibagi menjadi komponen-komponen kecil dan
mempelajarinya secara terpisah, maka sama halnya dengan kehilangan sesuatu
(reilly dan lewis, 1983)[4][4].
Sehingga dalam aliran kognitivistik
ini terdapat ciri-ciri pokok. Adapun ciri-ciri dari aliran kognitivistik yang
dapat dilihat adalah sebagai berikut:
a) Mementingkan
apa yang ada dalam diri manusia
b) Mementingkan
keseluruhan dari pada bagian-bagian
c) Mementingkan
peranan kognitif
d) Mementingkan
kondisi waktu sekarang
e) Mementingkan
pembentukan struktur kognitif
Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan
mempergunakan bentuk-bentuk representatif yang mewakili obyek-obyek itu di
representasikan atau dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan
atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya
seseorang menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar
negeri, setelah kembali kenegerinya sendiri. Tempat-tempat yang dikunjuginya
selama berada di lain negara tidak dapat dibawa pulang, orangnya sendiri juga
tidak hadir di tempat-tempat itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semua
tanggapan-tanggapan, gagasan dan tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang
disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.
2. Tokoh-tokoh
kognitivisme
Tokoh dari teori tersebut antara lain Jean Peaget, Bruner, dan Ausebel,
Robert M. Gagne.
Pakar kognitivisme yang besar pengaruhnya ialah Jean Piaget, yang pernah
mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan kognitif anak yang terdiri
atas beberapa tahap. Dalam hal pemerolehan bahasa ibu (B1) Piaget
mengatakan bahwa (i) anak itu di samping meniru-niru juga aktif dan kreatif
dalam menguasai bahasa ibunya; (ii) kemampuan untuk menguasai bahasa itu
didasari oleh adanya kognisi; (iii) kognisi itu memiliki struktur dan fungsi.
Fungsi itu bersifat genetif, dibawa sejak lahir, sedangkan struktur kognisi
bisa berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu.
Teorinya memberikan
banyak konsep utama dalam lapangan psikologi
perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan. Menurut
Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan
untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi
dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru.
Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau
berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal
dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan
sebaik-baiknya. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru
tetapi tidak asing. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap
perkembangannya. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk
saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetic,
artinya proses yang didasarkan atas mekenisme biologis dari perkembangan system
syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, makin komplek susunan sel syarafnya
dan makin meningkat pula kemampuannya (Travers, 1976)[5][5]. Sehingga
ketika dewasa seseorang akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya
yang menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif didalam struktur
kognitifnya. Piaget membagi proses
belajar kedalam tiga tahapan yaitu :
a) Asimilasi
Proses pengintgrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada. Contoh : seorang siswa yang mengetahui prinsip-prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka terjadilah proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dipahami oleh anak) dengan prinsip perkalian (informasi baru yang akan dipahami anak).
Proses pengintgrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada. Contoh : seorang siswa yang mengetahui prinsip-prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka terjadilah proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dipahami oleh anak) dengan prinsip perkalian (informasi baru yang akan dipahami anak).
b) Akomodasi
Proses penyesuaian antara struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Penerapan proses perkalian dalam situasi yang lebih spesifik. Contohnya : siswa ditelah mengetahui prinsip perkalian dan gurunya memberikan sebuah soal perkalian.
Proses penyesuaian antara struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Penerapan proses perkalian dalam situasi yang lebih spesifik. Contohnya : siswa ditelah mengetahui prinsip perkalian dan gurunya memberikan sebuah soal perkalian.
c) Equilibrasi
Proses penyesuaian yang berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Hal ini sebagai penyeimbang agar siswa dapat terus berkembang dan menambah ilmunya. Tetapi sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan roses penyeimbang. Tanpa proses ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur, sedangkan dengan kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu menata berbagai informasi yang diterima dengan urutan yang baik, jernih, dan logis.
Proses penyesuaian yang berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Hal ini sebagai penyeimbang agar siswa dapat terus berkembang dan menambah ilmunya. Tetapi sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan roses penyeimbang. Tanpa proses ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur, sedangkan dengan kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu menata berbagai informasi yang diterima dengan urutan yang baik, jernih, dan logis.
Piaget berpendapat bahwa belajar merupakan proses penyesuaian, pengembangan
dan pengintegrasian pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah
dimiliki seseorang sebelumnya. Inilah yang disebut dengan konsep schema/skema
(jamak = schemata/schemata). Sehingga hasil belajar/ struktur kognitif
yang baru tersebut akan menjadi dasar untuk kegiatan belajar berikutnya.[6][6] Proses
belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui oleh
siswa yang terbagi kedalam empat tahap, yaitu :
1) Tahap
sensorimotor (anak usia lahir – 2 tahun)
2) Tahap
preoperational (anak usia 2 – 8 tahun)
3) Tahap operational
konkret (anak usia 7/8 – 12/14 tahun)
4) Tahap
operational formal (anak usia 14 tahun lebih)
Secara umum semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakin teratur
dan juga semakin abstrak cara berfikirnya.
Karena itu guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif
aak didiknya, serta memberikan isi, metode, media pembelajaran yang sesuai
dengan tahap-tahap tersebut.
Piaget juga mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Proses belajar yang dialami
seorang anak berbeda pada tahap-tahap lainnya. Oleh karena itu guru seharusnya
memahami tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya serta memberikan isi,
metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahapannya.
v Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jarome Bruner.
Berbeda dengan Piaget, Burner melihat perkembangan kognitif manusia
berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Bruner, perkembangan kognitif seseorang
sangat dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan, terutama bahasa yang biasanya
digunakan. Sehingga, perkembangan bahasa memberi pengaruh besar dalam
perkembangan kognitif (Hilgard dan Bower, 1981)[7][7]
Menurut Bruner untuk mengajarkan sesuatu tidak usah menunggu sampai anak
mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata
dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan kata lain, perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan
dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah
kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari
Sekolah Dasar sampai Perguruan tinggi, tetapi disesuaikan dengan tingkat
perkembangan kognitif mereka, artinya menuntut adanya pengulangan-pengulangan.
Cara belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep,
arti dan hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu
kesimpulan (Free Discovery Learning). Dengan kata lain, belajar dengan
menemukan.
Implikasi Teori Bruner dalam Proses Pembelajaran adalah menghadapkan anak
pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu masalah; anak akan berusaha
membandingkan realita di luar dirinya dengan model mental yang telah
dimilikinya; dan dengan pengalamannya anak akan mencoba menyesuaikan atau
mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam rangka untuk mencapai
keseimbangan di dalam benaknya. Dari implikasi ini dapat diketahui bahwa asumsi
dasar dari teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan
pengalaman didalam dirinya yang tertata dalam bentuk struktur kognitif, yang
kemudian mengalami tahap belajar sebagai perubahan persepsi dan pemahaman dari
apa yang aia temukan.
Teori ini menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan
( termasuk konsep, teori, definisi, dsb) melalui contoh-contoh yang
menggambarkan ( mewakili ) aturan yang menjadi sumber . Dari pendekatan ini
“belajar ekspositori” (belajar dengan cara menjelaskan). Siswa diberikan suatu
informasi umum dan diminta untuk mencari contoh-contoh khusus dan konkrit .
Menurut bruner ada 3 tahap dalam perkembangan kognitif, yaitu:[8][8]
1. Enaktif :
usaha/kegiatan untuk mengenali dan memahami lingkungan dengan observasi,
pengalaman terhadap suatu realita.
2. Ikonik
:siswa melihat dunia dengan melalui gambar-gambar dan visualaisasi verbal.
3. Simbolik :
siswa mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan
logika dan penggunaan symbol.
Keuntungan belajar menemukan (Free Discovery Learning):
a.
Menimbulkan rasa ingin tahu siswa sehingga dapat
memotivasi siswa untuk menemukan jawabannya.
b.
Menimbulkan keterampilan memecahkan masalahnya secara
mandiri dan mengharuskan siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi.
v Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Ausebel.
Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang
dimilikinya dengan pengetahuan baru (belajar menjadi bermakna/ meaning full
learning). Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:
1) Memperhatikan
stimulus yang diberikan.
2) Memahami
makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Meaning full learning adalah suatu proses dikaitkannya
Menurut Ausebel siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya
didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (Advanced
Organizer), dengan demikian akan mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar
siswa. Advanced organizer adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi
seluruh isi pelajaran yang akan dipelajari oleh siswa. Advanced organizer
memberikan tiga manfaat yaitu :
1.
Menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi
yang akan dipelajari.
2.
Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara
yang sedang dipelajari dan yang akan dipelajari.
3.
Dapat membantu siswa untuk memahami bahan belajar
secara lebih mudah.
Untuk itu pengetahuan guru terhadap isi pembelajaran harus sangat baik,
dengan demikian ia akan mampu menemukan informasi yang sangat abstrak, umum dan
inklusif yang mewadahi apa yang akan diajarkan. Guru juga harus memiliki logika
berfikir yang baik, agar dapat memilah-milah materi pembelajaran, merumuskannya
dalam rumusan yang singkat, serta mengurutkan materi tersebut dalam struktur
yang logis dan mudah dipahami.
v Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Robert M. Gagne
Menurut gagne belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam
otak manusia. Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk
kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar.
Pengolahan otak manusia :
a) Reseptor
b) Sensory
register
c) Short-term
memory
d) Long-term memory
e) Response
generator
Salah satu teori yang berasal dari psikolog kognitiv adalah teori
pemrosesan informasi yang dikemukakan oleh Robert M. Gagne. Menurut teori ini
belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedangkan
pengolahan otak manusia sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Reseptor (alat indera) : menerima rangsangan dari
lingkungan dan mengubahnya menjadi rangsaangan neural, memberikan symbol
informasi yang diterimanya dan kemudian di teruskan.
b.
Sensory register (penempungan kesan-kesan sensoris) :
yang terdapat pada syaraf pusat, fungsinya menampung kesan-kesan sensoris dan
mengadakan seleksi sehingga terbentuk suatu kebulatan perceptual. Informasi
yang masuk sebagian masuk ke dalam memori jangka pendek dan sebagian hilang
dalam system.
c.
Short term memory ( memory jangka pendek ) : menampung
hasil pengolahan perceptual dan menyimpannya. Informasi tertentu disimpan untuk
menentukan maknanya. Memori jangka pendek dikenal juga dengan informasi memori
kerja, kapasitasnya sangat terbatas, waktu penyimpananya juga pendek. Informasi
dalam memori ini dapat di transformasi dalam bentuk kode-kode dan selanjutnya
diteruskan ke memori jangka panjang.
d.
Long Term memory (memori jangka panjang) :menampung
hasil pengolahan yang ada di memori jangka pendek. Informasi yang disimpan
dalam jangka panjang, bertahan lama, dan siap untuk dipakai kapan saja.
e.
Response generator (pencipta respon) : menampung
informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang dan mengubahnya menjadi reaksi
jawaban.
3. Aplikasi
teori Kognitivisme
Aplikasi teori belajar kognitivisme dalam pembelajaran yaitu guru harus
memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses
berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan
benda-benda konkret, keaktifan siswa sangat dipentingkan, guru menyusun materi
dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana kekompleks, guru
menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatian perbedaan individual siswa
untuk mencapai keberhasilan siswa.
Berdasarkan prinsip teori pemrosesan informasi dirumuskan beberapa petunjuk
aplikasi teori pemrosesan informasi, yaitu (a) guru hendaknya yakin bahwa
setiap siswa memiliki perhatian terhadap apa yang dipelajari. Karena itu untuk
menarik perhatian siswa, guru dapat melakukan tindakan dengan memberikan tanda
tertentu misalnya tepuk tangan atau menghentakkan papan tulis, berkeliling
ruangan atau berbicara dengan irama, memulai pelajaran dengan mengajukan
pertanyaan yang membangkitkan minat siswa terhadap topik yang dibicarakan, (b)
membantu siswa membedakan iinformasi yang penting dengan informasi yang tidak
penting untul memusatkan perhatian misalnya dengan menuliskan tujuan
pembelajaran, waktu menjelaskan berhenti sejenak dan mengulangi lagi atau
meminta siswa mengulangi apa yang dijelaskan, (c) membantu siswa menghubungkan
informasi yang baru dengan apa yang diketahui misalnya dengan mengulangi
hal-hal yang diketahui siswa untuk mengingat kembali dan menghubungkan dengan
informasi baru, menggunakan diagram atau garis untuk menunnjukkan hubungan
informasi baru dengan informasi yang dimiliki, (d) sediakan waktu untuk
mengulang dan memeriksa kembali informasi dengan memulai pelajaran meninjau
ulang pekerjaan rumah, mengadakan tes-tes pendek yang sering, membuat permainan
atau siswa saling berpasangan bertanya jawab, (e) sajikan pelajaran secara
tersusun dan jelas misalnya menjelaskan tujuan pembelajaran, membuat ikhtisar
atau rangkuman, dan (f) utamakan pembelajaran bermakna bukan ingatan misalnya dengan mengajarkan perbendaharaan kata-kata
baru dan mengaitkannya dengan kata-kata yang sudah dimiliki.
Strategi mengingat atau menyimpan informasi dalam ingatan dan mengingatnya
kembali bila dibutuhkan dapat dilakukan (a) untuk menghafal informasi yang
tidak membutuhkan pemahaman, gunakan meneumonic (pembantu ingatan, kiat, atau
jembatan keledai). Misalnya untuk menghafal kata-kata ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, nasional dengan mneumonic
IPOLEKSOSBUD HANKAMNAS, (b) rumusan kembali dengan kalimat sendiri apa yang
telah dipelajari, dan (c) untuk mengatasi inhibisi retroaktif dapat dilakukan
berbagai cara misalnya mengajarkan konsep serupa tidak dalam waktu yang
bersamaan atau mengajarkan materi serupa dengan metode yang berbeda.
Dalam proses pembelajaran kita jumpai serial learning dan free recall
learning, yaitu belajar fakta menurut urutan tertentu, misalnya urutan rukun
iman, rukun islam, atau berwudlu serta urutan warna, urutan peristiwa dalam
sejarah. Sedangkan free recall learning ialah mempelajari daftar yang tidak
perlu diurut, misalnya nama-nama nabi atau rasul, nama tumbuhan, nama organ
tubuh dan sebagainya.
Dalam praktiknya serial learning dan free recall learning terdapat beberapa
cara (a) organisasi atau penyusunan misalnya dengan menyusun daftar informasi
yang akan dipelajari menjadi kategori yang mempunyai arti dan mudah diingat,
(b) metode loci, artinya tempat. Ialah metode alat bantu mengingat dimana
seorang membuat gambaran pikiran yang berkaitan dengan tempat-tempat tertentu,
(c) irama, metode mengingat dalam bentuk nyanyian. Misalnya untuk mengenalkan
urutan rukun Islam atau rukun iman dengan nyanyian[9][9].
4. Kelebihan
dan kelemahan teori Kognitivisme
a)
Kelebihannya
yaitu : menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri; membantu siswa memahami bahan
belajar secara lebih mudah.
b)
Kekurangannya
yaitu : teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan; sulit di praktikkan
khususnya di tingkat lanjut; beberapa prinsip seperti intelegensi sulit
dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas.
5.
Pandangan Teori Kognitif Tentang Belajar
Menurut teori kognitif, belajar
ialah proses internal yanh tidak dapat diamati langsung. Perubahan terjadi
dalam kemampuan seseorang untuk bertingkah laku dan berbuat dalam situasi
tertentu. Perubahan dalam tingkah laku adalah refleksi dari perubahan internal.
Seperti halnya teori
behavioristik, teori kognitif berpendapat bahwa reinforcement dalam sangat
penting. Hanya saja reinforcement dalam teori behavioristik berfungsi
memperkuat respon atau tingkah laku, sementara dalam teori kognitif berfungsi
sebagai sumber umpan balik. Umpan balik ini memberi tahu tentang apa yang
mungkin terjadi kalau tingkah laku diulang-ulang. Dalam teori ini reinforcement
juga berfungsi untuk mengurangi ketidakpastian yang mengarah ke pemahaman dan
penguasaan.
info try out gratis RuangUji
BalasHapushttps://marketing.ruangguru.com/uji
Begitulah, pentingnya pendidikan
BalasHapus